Minggu, 30 Oktober 2011

Sejarah Batak Mandailing

Suku Batak Mandailing

Suku Mandailing
Jumlah populasi
k.l 3.200.000 jiwa (khusus di Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Padang Lawas, Padang Sidempuan, Labuhan Batu, Asahan, belum termasuk sensus di seluruh Indonesia, Malaysia, dan negara tetangga lainnya).
Kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan
Kabupaten Mandailing Natal: 500.000 jiwa ().
Bahasa
bahasa Mandailing, bahasa Melayu, bahasa Minang dan bahasa Indonesia.
Agama
Islam.
Kelompok etnis terdekat
Suku Minangkabau, suku Mandailing Angkola, Suku Batak, suku Gayo, suku Simalungun, suku Alas, suku Karo, suku Pakpak-Dairi, suku Melayu


Suku Mandailing atau juga disebut Batak Mandailing merupakan nama suku bangsa yang mendiami sebagian Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, yang juga dikategorikan sebagai bagian dari suku Batak, yang mempunyai banyak dialek bahasa, walau masih berkerabat satu dengan yang lain. Pada masyarakat Adat Minangkabau, Mandailing juga menjadi nama bagi salah satu suku yang ada pada masyarakat tersebut.

Asal Muasal Nama

Mandailing dalam bahasa Minang berasal dari dua kata, mande dan hilang yang digabung menjadi mandehilang bermaksud ibu yang hilang dan kemudian berubah tutur menjadi sekarang. Selain itu, Mandailing atau Mandahiling bisa juga berasal dari kata Mandala dan Hiling atau Holing, yang artinya pusat negeri Kalinga atau Kalingga. Kalingga sendiri berasal dari kata Sanskrit Lingga, yang berarti lelaki dan imbuhan ka atau ha, menjadi Kalingga atau Halingga, yang berarti 'kelelakian'.

Adat Istiadat

Adat istiadat suku Mandailing diatur dalam Surat Tumbaga Holing (Serat Tembaga Kalinga), yang selalu dibacakan dalam upacara-upacara adat. Orang Mandailing mengenal tulisan yang dinamakan Aksara Tulak-Tulak, yang merupakan varian dari aksara Proto-Sumatera, yang berasal dari huruf Pallawa, bentuknya tak berbeda dengan aksara asli Minangkabau dan Aksara Rencong dari Aceh, Aksara Sunda Kuna, dan Aksara Nusantara lainnya. Meskipun bangsa Mandailing mempunyai aksara yang dinamakan urup tulak-tulak dan dipergunakan untuk menulis kitab-kitab kuno yang disebut pustaha/pustaka, namun amat sulit menemukan catatan sejarah mengenai Mandailing sebelum abad ke - 19 M. Umumnya pustaha-pustaha/pustaka-pustaka ini berisi catatan pengobatan tradisional, ilmu-ilmu ghaib, ramalan2 tentang waktu yang baik dan buruk serta ramalan mimpi dan bukan tentang sejarah.

Kekerabatan

Suku Mandailing sendiri mengenal paham kekerabatan, baik patrilineal maupun matrilineal. Dalam sistem patrilineal, orang Mandailing mengenal marga. Di Mandailing hanya dikenal belasan marga saja berbeda di Batak, yang mengenal hampir 500 marga. Seperti halnya di Karo, Nias, Gayo, Alas, marga-marga di Mandailing umumnya tak mempunyai keterkaitan kekerabatan dengan Batak. Marga-marga di Mandailing, antara lain Lubis, Nasution, Pulungan, Batubara, Parinduri, Lintang, Harahap, Hasibuan (Nasibuan), Rambe, Dalimunthe, Rangkuti (Ra Kuti), Tanjung, Mardia, Daulay (Daulae), Matondang, Hutasuhut.
Marga-Marga Mandailing, menurut Abdoellah Loebis, di Mandailing Julu dan Pakantan, seperti berikut: Lubis yang terbahagi kepada Lubis Huta Nopan dan Lubis Singa Soro, Nasution, Parinduri, Batu Bara, Matondang, Daulay, Nai Monte, Hasibuan, Pulungan. Marga-marga di Mandailing Godang pula adalah: Nasution yang terbahagi kepada Nasution Panyabungan, Tambangan, Borotan, Lancat, Jior, Tonga, Dolok, Maga, Pidoli, dan lain-lain. Lubis, Hasibuan, Harahap, Batu Bara, Matondang (keturunan Hasibuan), Rangkuti, Mardia, Parinduri, Batu na Bolon, Pulungan, Rambe, Mangintir, Nai Monte, Panggabean, Tangga Ambeng dan Margara. (Rangkuti, Mardia dan Parinduri asalnya satu marga).
Menurut Basyral Hamidy Harahap dan Hotman M. Siahaan, di Angkola dan Sipirok terdapat marga-marga Pulungan, Baumi, Harahap, Siregar, Dalimunte dan Daulay. Juga terdapat marga-marga Harahap, Siregar, Hasibuan, Daulay, Dalimunte, Pulungan, Nasution dan Lubis di Padang Lawas.
Menurut Basyral Hamidy Harahap dalam buku berjudul Horja, marga-marga di Mandailing antara lain Babiat, Dabuar, Baumi, Dalimunthe, Dasopang, Daulae, Dongoran, Harahap, Hasibuan, Hutasuhut, Lubis, Nasution, Pane, Parinduri, Pasaribu, Payung, Pohan, Pulungan, Rambe, Rangkuti, Ritonga, Sagala, Simbolon, Siregar, Tanjung.

Mandailing versus Batak

Ada juga suku bangsa di Malaysia yang menamakan dirinya sebagai suku Mandailing, terutama di Negeri Sembilan, tepatnya di Kg. Kerangai, Kg. Lanjut Manis dan Kg. Tambahtin, mereka juga menolak disebut bagian dari suku Batak dan mereka menganggap Mandailing merupakan suku bangsa yang terpisah dari suku Batak. Terjadinya perbedaan pendapat tersebut disebabkan adanya rasa perbedaan agama, dimana mayoritas penduduk Mandailing adalah Islam, yang diistilahkan melayu dalam bahasa Mandailing, sedangkan mayoritas agama pada suku bangsa Batak lainnya adalah Kristen Protestan, yang tergabung dalam Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), sementara minoritas Kristen di Mandailing tergabung dalam Gereja Kristen Angkola (GKA).
Di samping itu, penolakan masyarakat Mandailing disebut batak salah satunya juga disebabkan sejarah persebaran manusia di Sumatera. Semisal, tidak ada satupun artefak atau situs sejarah yang bisa membuktikan bahwa suku Mandailing berasal dari Pusu Buhit dan sekitarnya. Di mana, dalam mitologi Batak, inilah daerah asal muasal orang Batak. Dalam perspektif persebaran manusia di Mandailing, masyarakat Mandailing tua lebih menyukai tinggal di lereng gunung yang berpepohonan lebat dibandingkan dengan di daerah dataran tandus seperti pulau Samosir.
Selain itu, ungkapan kata Batak dalam termiologi Minangkabau tua adalah stereotype untuk para pengelana berkuda. Mereka berkenalan dari sebuah daerah potensial tinggi ke dataran tinggi tandus yang dilatarbelakangi sebuah perisitwa sosial. Sebut saja seperti lari dari majikan, begal, rampok dan sebagainya. Pelarian ke dataran tinggi tandus, di mana kehidupan menjadi begitu sulit adalah sebuah upaya proteksi dari ancaman konflik sosial maupun politik. Perisitiwa ini sendiri terjadi jauh sebelum bangsa-bangsa dari Eropa melakukan invasi ke Pulau Sumatera.
Namun, sebutan etnis Batak itu dipopulerkan oleh Gubernur Jenderal Sir Thomas Stanford Raffless pada Tahun 1823 M, dalam rangka membuat suku Kristen, yang berada di antara Kesultanan Islam Aceh dan Kerajaan Islam Minangkabau, yaitu di pedalaman Barus, yang kala itu masuk dalam Kesultanan Barus bawahan Kesultanan Aceh. Dalam bahasa Belanda policy (kebijakan) itu berbunyi, "Een wig te drijen tusschen het mohamedaansche Atjeh en het eveneens mohammadansche Sumatra's West Kust. Een wig in de vorm van de Bataklanden (Aceh yang Islam serta Minangkabau (Pantai Barat Sumatra) yang Islam dipisah dengan blok Batak (Barus Tanah Kristen)." Perintah ini meniru perintah Gubernur Jenderal Inggris di Calcutta, yaitu "Burma yang Buddha serta Siam yang Buddha dipisah dengan blok Karen yang kristen." Pelaksanaannya, 3 pendeta British Baptist Mission, yaitu Pendeta Burton, Pendeta Ward, Pendeta Evans ke Kota Tapian Na Uli, tempat Raffless beribukota saat itu. Pada tahun 1834 M, melalui Londonsche Tractaat, Sumatera bagian utara ditukar dengan Belanda dengan Kalimantan Utara (Sarawak dan Sabah), perintah Raffless diteruskan pemerintah Hindia Belanda.
Upaya membentuk suku dan wilayah khusus Kristen di Sumatera baru dimulai tahun 1873 M, dengan berhasilnya Belanda menakhlukkan wilayah Aceh, yaitu Silindung, dan menghancurkan masjid di Tarutung, setelah Pendeta Nommensen pada tahun 1863 M dari Sipirok pindah ke Silindung ditemani 2 perwira Paderi yang telah dibaptist Pendeta Verhouven pada tahun 1834 M, yaitu Ja Mandatar Lubis dan Kali (Qadli) Rancak Lubis di Pakantan. Daerah Silindung kemudian dimasukkan dalam Karesidenan Air Bangis, di bawah Gouvernemen Sumatra's West Kust. Selanjutnya, pada tahun 1881 M, daerah Toba berhasil ditakhlukkan Belanda, dan dilanjutkan dengan pengkristenan. Hal ini membuat wali negeri Bakkara (Bangkara), yang berada di bawah Kesultanan Aceh, yaitu Si Singam Manga Raja (Sri Singa Maha Raja) XII yang merupakan keturunan Sultan Aceh melalui Kesultanan Barus, melakukan perlawanan sengit dari tahun 1882 - 1884 M, yang dibantu Tentara Aceh. Selain itu juga, penamaan suku Kristen di Kalimantan, yaitu Dayak oleh Belanda, dan Malayik oleh Inggris. Semenjak itu orang Mandailing, baik yang tinggal di afdeeling Padangsidempuan (Tapanuli Selatan), Labuhan Batu, Asahan, Sumatera Barat dan Riau menolak disebut sebagai orang Batak.
Peristiwa di atas dikuatkan pada tahun 1922-1926 M, setelah terjadi perdebatan di Medan tentang hak orang muslim bermarga Siregar yang semula mengaku Mandailing kemudian mengaku sebagai Batak, ingin dikuburkan di tanah wakaf Mandailing di Sungai Mati, Medan. Dalam hal ini, Mahkamah Syariah Deli memutuskan hanya orang yang mengaku Mandailing yang berhak dikuburkan pada tanah wakaf tersebut. Peristiwa ini dianggap oleh sebagian orang, sebagai salah satu pengukuhan terhadap perbedaan identitas orang Mandailing dengan Batak.[1]

Sejarah

Dalam tulisan MANDAILING DALAM LINTASAN SEJARAH oleh Drs. Pengaduan Lubis, yang dikabarkan dalam Mandailing.org, dinyatakan Suku bangsa atau kelompok etnis Mandailing. Suku bangsa atau kelompok etnis Mandailing memang mempuyai aksara sendiri yang dinamakan Surat Tulak-Tulak. Tetapi ternyata orang-orang Mandailing pada zaman dahulu tidak menggunakan aksara tersebut untuk menuliskan sejarah. Pada umumnya yang dituliskan adalah mengenai ilmu pengobatan tradisional, astronomi tradisional, ilmu ghaib, andung-andung dan tarombo atau silsilah keturunan keluarga-keluarga tertentu. Setelah sekolah berkembang di Mandailing, Surat Tulak-Tulak mulai dipergunakan oleh guru-guru untuk menuliskan cerita-cerita rakyat Mandailing sebagai bacaan murid-murid sekolah.
Beberapa legenda yang mengandungi unsur sejarah dan berkaitan dengan asal-usul marga orang Mandailing masih hidup di tengah masyarakat Mandailing. Seperti legenda Namora Pande Bosi dan legenda Si Baroar yang dtulis oleh Willem Iskandar pada abad ke-18 M. Tetapi legenda yang demikian itu tidak memberi keterangan yang cukup berarti mengenai sejarah Mandailing. Dalam beberapa catatan sejarah seperti sejarah Perang Paderi yang disusun oleh M. Radjab, disebut-sebut mengenai Mandailing dan keterlibatan orang Mandailing dalam Perang Paderi. Catatan sejarah ini hanya berhubungan dengan masyarakat Mandailing pada abad ke-18 dan awal masuknya orang Belanda ke Mandailing. Bagaimana sejarah atau keadaan masyarakat Mandailing pada abad-abad sebelumnya tidak terdapat tulisan yang mencatatnya.
Mpu Prapanca, seorang pujangga Kerajaan Majapahit menulis satu kitab yang berjudul Negarakertagama sekitar tahun 1365 M. kitab tersebut ditulisnya dalam bentuk syair yang berisi keterangan mengenai sejarah Kerajaan Majapahit. Menurut Prof. Slamet Mulyana (1979:9), Kitab Negarakertagama adalah sebuah karya paduan sejarah dan sastra yang bermutu tinggi dari zaman Majapahit. Berabad-abad setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit, keberadaan dimana kitab ini tidak diketahui. Baru pada tahun 1894, satu Kitab Negarakertagama ditemukan di Puri Cakranegara di Pulau Lombok. Kemudian pada Juli 1979 ditemukan lagi satu Kitab Negarakertagama di Amlapura, Lombok.
Dalam Pupuh XIII Kitab Negarakertagama, nama Mandailing bersama nama banyak negeri di Sumatera dituliskan oleh Mpu Prapanca sebagai negara bawahan Kerajaan Majapahit. Tidak ada keterangan lain mengenai Mandailing, kecuali sebagai salah satu negara bawahan Kerajaan Majapahit. Namun demikian, dengan dituliskan nama Mandailing terdapatlah bukti sejarah yang otentik bahwa pada abad ke-14 M telah diakui keberadaannya sebagai salah satu negara bawahan Kerajaan Majapahit. Pengertian negara bawahan dalam hal ini tidak jelas artinya, karena tidak ada keterangan berikutnya.
Jadi dapatlah dikatakan bahwa Negeri Mandailing sudah ada sebelum abad ke-14 M. Karena sebelum keberadaannya dicatat tentunya Mandailing sudah terlebih dahulu ada. Kapan Negeri Mandailing mulai berdiri tidak diketahui secara persis. Tetapi karena nama Mandailing dalam kitab ini disebut-sebut bersama nama banyak negeri di Sumatera termasuk Pane dan Padang Lawas, kemungkinan sekali negeri Mandailing sudah mulai ada pada abad ke-5 M atau sebelumya. Karena Kerajaan Pane sudah disebut-sebut dalam catatan Cina pada abad ke-6 M. Dugaan yang demikian ini dapat dihubungkan dengan bukti sejarah berupa reruntuhan candi yang terdapat di Simangambat dekat Siabu. Candi tersebut adalah Candi Siwa yang dibangun sekitar abad ke-8 M.
Apakah pada abad ke-14 M, Mandailing merupakan satu kerajaan tidak diketahui. Karena dalam Kitab Negarakertagama, Mandailing tidak disebut-sebut sebagai kerajaan tetapi sebagai negara bawahan Kerajaan Majapahit. Tetapi dengan disebutkan negeri Mandailing sebagai negara, ada kemungkinan pada masa itu Mandailing merupakan satu kerajaan. Keterangan mengenai keadaaan Mandailing sebelum abad ke-14 M, tidak ada sama sekali kecuali keberadaan Candi Siwa di Simangambat. Namun demikian, berdasarkan berbagai peninggalan dari zaman pra sejarah dan peninggalan dari zaman Hindu/Buddha yang terdapat di Mandailing kita dapat mengemukakan keterangan yang bersifat hipotesis.

Hipotesis Kerajaan Mandala Holing

Pada bagian terdahulu sudah dikemukakan bahwa di Simangambat terdapat reruntuhan Candi Siwa (Hindu) dari abad ke-8. Candi tersebut jauh lebih tua dari candi-candi di Portibi (Padang Lawas) yang menurut perkiraan para pakar dibangun pada abad ke-11. Dengan adanya candi ini bisa menimbulkan pertanyaan mengapa dan kapan ummat Hindu yang selanjutnya saya sebut orang Hindu dari India datang ke Mandailing yang terletak di Sumatera yang mereka namakan Swarna Dwipa (Pulau Emas).
Besar kemungkinan orang Hindu datang ke Mandailing yang terletak di Svarna Dwipa adalah untuk mencari emas. Dalam sejarah India, terdapat keterangan yang menyebutkan bahwa sekitar abad pertama Masehi, pasokan emas ke India yang didatangi dari Asia Tengah terhenti. Karena di Asia Tengah terjadi berbagai peperangan.Oleh karena itu kerajaan-kerajaan yang terdapat di India berusaha mendapatkan emas dari tempat lain, yaitu dari Sumatera/Swarna Dwipa. Dalam hubungan ini kita mengerti bahwa di wilayah Mandailing yang pada masa lalu hingga kini di dalamnya termasuk kawasan Pasaman terdapat banyak emas. Bukti-bukti mengenai hal ini banyak sekali. Jadi besar sekali kemungkinan bahwa tempat yang dituju oleh orang Hindu dari India untuk mencari emas di Swarna Dwipa adalah daerah Mandailing.
Orang Hindu yang datang ke wilayah Mandailing adalah yang berasal dari negeri atau Kerajaan Kalingga di India. Oleh karena itu mereka disebut orang Holing atau orang Koling. Ada kemungkinan mereka masuk dari daerah Singkuang (tambahan: Pelabuhan Natal). Karena Singkuang yang merupakan tempat bermuaranya Sungai Batang Gadis cukup terkenal sebagai pelabuhan. Itulah sebabnya tempat tersebut dinamakan Singkuan oleh pedagang Cina (Singkuang dibuat pada masa Dinasti Ming, yang merupakan koloni dari keturunan orang-orang dari ekspedisi Panglima Ceng Ho) yang berarti 'harapan baru'. Karena melalui pelabuhan ini mereka biasa memperoleh berbagai barang dagangan yang penting yang berasal dari Sumatera seperti damar, gitan, gading dsb.
Menurut dugaan setelah orang Holing/Koling tiba di Singkuang, selanjutnya mereka menyusuri Sungai Batang Gadis ke arah hulunya. Dengan demikian maka akhirnya mereka sampai di satu dataran rendah yang subur yaitu di kawasan Mandailing Godang yang sekarang. Sejak zaman pra sejarah di kawasan tersebut dan di berbagai tempat di Mandailing sudah terdapat penduduk pribumi (tambahan: Suku Lubu, yang memakai sistem matriarkhat dan matrilineal). Hal ini dibuktikan oleh adanya peninggalan dari zaman pra sejarah berupa lumpang-lumpang batu besar di tengah hutan di sekitar Desa Runding di seberang Sungai Batang Gadis dan bukti-bukti lainnya di berbagai tempat.
Pada waktu orang Holing/Koling sampai di kawasan Mandailing Godang (waktu itu kita tidak tahu nama kawasan ini), maka mereka bertemu dengan penduduk pribumi setempat. Penamaan orang Holing/Koling digunakan untuk menyebutkan orang Hindu yang berasal dari Negeri Kalingga tersebut dibuat oleh penduduk pribumi. Setibanya di wilayah Mandailing, orang-orang Holing/Koling tersebut menemukan apa yang mereka cari yaitu emas. Kita mengetahui melalui sejarah bahwa emas tercatat sebagai salah satu modal utama dalam berdirinya kerajaan-kerajaan besar dan emas juga merupakan sumber kemakmuran. Setelah orang-orang Hindu menemukan banyak emas di kawasan Mandailing yang sekarang ini, mereka kemudian menetap di kawasan tersebut. Karena orang-orang Holing/Koling menetap di kawasan itu maka dinamakan Mandala Holing/Koling. Mandala artinya lingkungan atau kawasan. Mandala Holing/Koling berarti lingkungan atau kawasan tempat tinggal orang-orang Holing/Koling. Sampai sekarang kita sering mendengar disebut-sebut adanya Banua Holing/Koling. Tetapi orang-orang tidak mengetahui dimana tempat yang dinamakan Banua Holing/Koling itu.
Berdasarkan hipotesis ini kita dapat mengatakan bahwa yang disebut Banua Holing/Koling itu adalah wilayah Mandailing yang dahulu ditempati oleh orang-orang Holing/Koling. Dengan kata lain Banua Holing/Koling adalah Mandala Holing/Koling. Berabad-abad kemudian Mandala Holing/Koling dikenal sebagai Kerajaan Holing. Dalam hubungan ini Slamet Mulyana (1979:59) mengemukakan bahwa hubungan dagang dan diplomat antara Cina dan Jawa berlangsung, mulai dari berdirinya Kerajaan Holing pada permulaan abad ke-7 sampai runtuhnya Kerajaan Majapahit pada permulaan abad ke-16. Sejalan dengan keterangan Slamet Mulyana ini kita dapat melihat hubungan antara Kerajaan Holing dengan adanya Candi Siwa Di Simangambat yang dibangunkan pada abad ke-8. Dalam hubungan ini dapat pula dikemukan bahwa dari berbagai catatan sejarah disebut-sebut adanya Kerajaan Kalingga dan Kerajaan Holing. Tetapi sampai sekarang para sejarah belum menentukan dimana sebenarnya lokasinya yang pasti. Ada pakar sejarah yang menduga bahwa Kerajaan Kalingga terletak di Jawa Timur tetapi Kerajaan Holing yang disebut-sebut dalam catatan Cina tidak diketahui lokasinya yang pasti. Dan dapat pula dipertanyakan apakah Kerajaan Kalingga adalah yang disebut juga sebagai Kerajaan Holing.
Dengan argumentasi yang telah dikemukan di atas, kita mengajukan dugaan (hipotesis) bahwa yang disebut Kerajaan Holing itu dahulu terletak di wilayah Mandailing yang juga disebut sebagai Kerajaan Mandala Holing/Koling. Kiranya cukup beralasan untuk menduga bahwa nama Mandahiling (Mandailing) yang disebut oleh Mpu Prapanca dalam Kitan Negarakertagama pada abad ke-14 berasal dari nama Mandalaholing yang kemudian mengalami perubahan penyebutan menjadi Mandahiling dan akhirnya kini menjadi Mandailing. Untuk membuktikan kebenaran dugaan atau hipotesis ini tentu masih perlu dilakukan penelitian. Dan ini merupakan tantangan bagi orang Mandailing yang berkedudukan sebagai pakar sejarah.
Diperkiranya orang-orang Hindu menetap di Kerajaan Mandalaholing (Kerajaan Holing/ Banua Holing) yang kaya dengan emas berabad-abad lamanya. Yaitu sejak mereka datang pertama kali pada abad-abad pertama Masehi. Sampai abad ke-13 orang-orang Hindu masih ada yang menetap di Mandailing yang sekarang ini. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya cukup banyak peninggalan Hindu/Buddha di wilayah Mandailing. Salah satu di antaranya adalah tiang batu di Gunung Sorik Merapi yang bertarikh abad ke-13 M di kawasan Mandailing Godang (Pidoli) terdapat lokasi persawahan yang bernama Saba Biara. Yang disebut biara atau vihara adalah tempat orang-orang Hindu-Buddha melakukan kegiatan keagamaan.
Menurut dugaan Kerajaan Mandalaholing yang dahulu pernah terdapat di Mandailing yang sekarang meluas sampai ke kawasan Pasaman (yang dahulu merupakan bagian dari Mandailing). Menurut keterangan yang pernah saya peroleh di Pasaman, batas antara wilayah Mandailing dan wilayah Minangkabau terletak di Si Pisang lewat Palupuh. Sekarang batas antara Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Lima Puluh Kota. Di kawasan Pasaman, yaitu di tempat yang bernama Tanjung Medan dekat Rao terdapat juga candi yang mirip keadaannya dengan candi di Portibi. Dan kita tahu bahwa di kawasan Pasaman juga terdapat emas yang dibutuhkan oleh orang-orang Hindu. Kalau tidak salah di kawasan yang bernama Manggani. Di kawasan itu juga terdapat tambang emas Belanda pada masa penjajahan. Pengaruh Hindu
Peninggalan-peninggalan bersejarah seperti disebutkan di atas, membuktikan bahwa sudah ada manusia yang mendiami wilayah Mandailing pada masa tersebut. Sebagai pribumi Mandailing, mereka terus berkembang sampai orang-orang Hindu datang dan menetap di Mandailing. Besar kemungkinan antara penduduk pribumi hidp berdampingan secara damai dengan orang-orang Hindu yang menetap dan kemudian membangun kerajaan di wilayah Mandailing. Dugaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa meskipun banyak ditemukan peninggalan dari zaman Hindu di wilayah Mandailing, tapi ditemukan juga peninggalan kebudayaan pribumi Mandailing yang berkembang sendiri tanpa didominasi oleh pengaruh Hindu. Misalnya, patung-patung batu seperti yang terdapat di halaman Bagas Godang Panyabungan Tonga-Tonga dan patung-patung kayu yang terdapat di Huta (Kuta) Godang. Demikian juga ornamen-ornamen tradisional yang terdapat pada Bagas Godang dan Sopo Godang yang hanya sedikit sekali memperlihatkan pengaruh Hindu. Yakni pada ornamen berbentuk segitiga yang disebut bindu (pusuk robung) yang merupakan lambang dari Dalian Na Tolu. Dalam kebudayaan Hindu, bindu (bentuk segitiga) merupakan lambang mistik hubungan manusia dengan dewa trimurti. Bagian-bagian lain dari ornamen tradisional tidak memperlihatkan adanya pengaruh Hindu. Dari bentuknya, ornamen-ornamen yang ada sampai sekarang ini hanya menggunakan garis-garis geometris (garis lurus), kecuali ornamen benda alam, buatan dan hewan seperti matahari, bulan, bintang, pedang, ular dll. Bentuk ornamen yang hanya menggunakan garis-garis geometris ini membuktikan ornamen tersebut berasal dari zaman yang sudah lama sekali (primitif).
Pengaruh Hindu juga terdapat pada budaya tradisional Mandailing, antara lain pada penamaan desa na ualu (walu) (mata angin)dan pada gelar kebangsawanan seperti Mangaraja (Maharaja), Soripada (Sripaduka/Sripaduha), Batara Guru serta nama gunung seperti Dolok Malea. Keaneragaman bahasa Mandailing yang terdiri dari hata (kata) somal, hata sibaso, hata parkapur, hata teas dohot jampolak dan hata andung, yang kosa katanya masing-masing berlainan menunjukkan budaya pribumi Mandailing sudah lama berkembang yang tentunya dihasilkan dari peradaban yang sudah tinggi yang tidak banyak dipengaruhi oleh budaya Hindu. Jadi dapat disimpulkan bahwa meskipun orang Hindu lama menetap dan mengembangkan budayanya tetapi pribumi Mandailing tidak didominasi oleh orang-orang Hindu, dan bebas mengembangkan budayanya sendiri.
Adanya dua masyarakat, yaitu pribumi Mandailing dan orang Hindu yang masing-masing mengembangkan budayanya pada masa yang lalu di lingkungan alam yang subur dan kaya dengan emas. Diduga kemungkinan besar Mandailing merupakan pusat peradaban di Sumatera pada masa awal abad-abad Masehi. Salah satu bukti mengenai hal ini adalah adanya ragam bahasa yang sudah disebutkan di atas dan adanya aksara yang dinamakan [[Surat Tulak-Tulak (yang berasal dari huruf Pallawa), yang kemudian berkembang ke arah utara mulai dari Toba, Simalungun sampai Karo dan Pakpak. Penelitian para pakar sudah membuktikan bahwa aksara Mandailing (Surat Tulak-Tulak). Bahasa yang halus dan aksara yang dimiliki oleh sesuatu bangsa menunjukkan bahwa bangsa tersebut sudah mempunyai peradaban yang tinggi.
Ada permasalahan yang sampai sekarang belum terpecahkan, yaitu kapan orang Hindu lenyap dari wilayah Mandailing dan apa yang menyebabkan mereka hilang dari Mandailing. Setelah orang Hindu lenyap dari Mandailing, pribumi Mandailing terus mengembangkan kebudayaannya. Budaya Mandailing berkembang tanpa memperlihatkan pengaruh budaya Hindu yang esensial, walau pun masyarakat Mandailing terbagi dalam 5 kasta, yaitu Namora-mora, Datu-datu, Kalak Somal, Ampong Dalam, dan Hatoban. Dalam kebudayaan Hindu salah satu esensial adalah konsep bahwa raja adalah wakil dewa di bumi yang mendasari feodalisme dalam pelaksanaan pemerintahan kerajaan. Masyarakat Mandailing tidak menganut konsep yang demikian itu, dan pemerintahan yang demokratis yang dijalankan bersama-sama oleh Namora Natoras dan Raja. Hal ini dilambangkan oleh bangunan Sopo Godang sebagai balai sidang adat (pemerintahan) yang sengaja dibuat tidak berdinding, agar rakyat dapat secara langsung melihat dan mendengar segala hal yang dibicarakan oleh para pemimpin mereka. Semuanya berlangsung secara transparan yang langsung disaksikan sendiri oleh rakyat.
Setelah Belanda menjajah Mandailing, keadaan yang demikian itu mengalami banyak perubahan sehingga akhirnya muncul hal-hal yang feodalistis. Karena untuk memperkuat kedudukannya di Mandailing, Belanda berusaha mengembangkan hal-hal yang feodalistis untuk dapat menguasai rakyat Mandailing yang demokratis. Sifat rakyat Mandailing yang demokratis itu, pada akhirnya mendorong munculnya pergerakan nasional di Mandailing sebagai pelopor pergerakan di Sumatera Utara.
Mandailing dan Perang Paderi
Pada tanggal 13 Agustus 1814 M, Inggris dan Belanda melakukan perjanjian yang isinya menyatakan bahwa jajahan Belanda di Kepulauan Nusantara yang telah diambil Inggris harus dikembalikan kepada Belanda. Dengan dijalankan perjanjian itu pada tahun 1816 M, maka Belanda kembali berkuasa di Padang. Pada masa itu peperangan antara kaum Paderi dalam Darul Islam Minangkabau dan kaum adat di Kerajaan Pagaruyung sudah berlangsung beberapa tahun lamanya. Untuk menghadapi kekuatan kaum Paderi, pimpinan kaum adat meminta bantuan kepada Belanda. Dengan demikian, maka terlibatlah Belanda dalam perang Paderi.
Gerakan kaum Paderi sudah mulai meluas ke wilayah Mandailing, yang masuk dalam wilayah Minang Utara, bersama-sama Nagari Agam dan Kuria Lubuksikaping (Pasaman). Salah satu alasan kaum Paderi memasuki Mandailing, adalah untuk melakukan pengislaman terhadap penduduknya yang masih menganut animisme yang dinamakan sipelebegu (memuja roh) (catatan : Padahal pasukan Paderi itu sendiri umumnya orang Mandailing, khususnya dari Kuria Lubuksikaping).
Beberapa catatan mengatakan bahwa pada waktu kaum Paderi memasuki Mandailing, Beberapa orang raja di Mandailing dan sejumlah penduduk sudah mulai menganut agama Islam. Kapan orang-orang Mandailing mulai menganut agama Islam untuk pertama kalinya belum diperoleh keterangan yang didukung oleh bukti-bukti sejarah yang otentik. Tetapi setelah kaum Paderi menguasai Mandailing, mereka melakukan pengislaman terhadap semua penduduk dan penduduk yang sudah menganut agama Islam dengan sendirinya memihak kepada kaum Paderi. Ada catatan yang mengatakan menjelang masuknya kaum Paderi ke Mandailing sudah ada orang-orang Mandailing yang pergi dan belajar agama Islam di Bonjol yang merupakan salah satu pusat kedudukan kaum Paderi di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol.
Pada waktu kaum Paderi sudah menguasai Mandailing, mereka menempatkan tokoh-tokoh pemuka agama Islam untuk mendampingi raja-raja Mandailing dalam menjalankan pemerintahan. Tokoh-tokoh pemuka agama Islam tersebut dinamakan kadi. Pada waktu kesatuan wilayah kerajaan-kerajaan kecil di Mandailing yang dinamakan janjian dijadikan oleh kaum Paderi sebagai kesatuan wilayah keagamaan yang disebut kariah. Dan di setiap kariah didudukkan oleh kaum Paderi seorang kadi untuk mendampingi raja dalam menyelenggara pemerintahan dan urusan agama Islam.
Setelah Belanda menbantu kaum adat menghadapi kaum Paderi, maka lama kelamaan boleh dikatakan perang Paderi berubah keadaannya dari perang antara kaum adat dan kaum Paderi menjadi perang antara Belanda dan kaum Paderi. Dalam keadaan yang demikian itu pihak Belanda bukan lagi hanya membantu kaum adat dan memerangi kaum Paderi, tetapi Belanda mulai menggunakan kekuataannya untuk meluaskan lagi penjajahannya dari wilayah Minangkabau ke wilayah lain di sebelah utara termasuk ke Mandailing. Pada waktu perang Paderi makin meluas ke arah utara (ke arah Rao) yang berbatasan dengan wilayah Mandailing, niat Belanda untuk menaklukkan berbagai wilayah di bagian utara itu makin nyata. Dan ketika serdadu Belanda sampai di Sundatar yang terletak di sebelah selatan Rao, mereka sengaja menyiarkan kabar ke arah utara yaitu di kawasan Rao dan wilayah Mandailing, jika rakyat di tempat tersebut tidak mau takluk kepada Belanda yang kuat persenjataannya mereka akan digempur dengan kekerasan (Radjab, 1964:163)
Sekitar tahun 1832 M, pada waktu pimpinan tentara Belanda Kolonel Elout dan Letnan Engelbert berad di Rao, Raja Gadombang dari Huta Godang di Mandailing datang menghadap mereka dengan maksud akan menawarkan bantuannya kepada tentara Belanda dalam perang membasmi kaum Paderi. Raja Gadombang (catatan: ketika masih ikut kaum Paderi bergelar Tuanku Mandailing), sebenarnya dengan membantu tentara Belanda itu hendak membalaskan dendamnya dan dendam rakyat Mandailing yang telah bertahun-tahun diperintah, dianiaya dan dipelakukan sewenang-wenangnya oleh kaum Paderi (Radjab 1964: 166). Pada tahun 1833, sewaktu tentara Belanda dikepung pasukan kaum Paderi dalam Benteng Amorengen di Rao, Raja Gadombang yang sudah diangkat oleh Belanda sebagai Regent Mandailing, dengan ratusan pasukannya datang membantu Belanda. Ketika Benteng Amorengen hampir jatuh ke tangan kaum Paderi datang pula bantuan pasukan Belanda dari Natal dibantu oleh 500 orang Batak, yang kemudian bergabung dengan pasukan Raja Gadombang dan mereka bersama-sama menggempur pasukan kaum Paderi. Seandainya tidak datang bantuan tersebut pada tanggal 21 Januari 1833, keesokan harinya pasti semua tentara Belanda di Rao akan musnah sama sekali. Sebab mereka sudah lemah karena lama tak makan dan pelurunya hampir habis (Radjab, 1964: 187).
Setelah kaum Paderi tidak ada lagi di sekitar Rao pada tanggal 22 Januari 1833 M, 3 (tiga) orang opsir Belanda mengadakan rapat yang dihadiri oleh Tuanku Natal yang pro Belanda, Regen Mandailing Raja Gadombang dan beberapa orang hulubalang Batak (Radjab, 1964: 188). Selain dari Raja Gadombang, Sutan Malayu raja dari Pakantan dan Patuan Gorga Tengah Hari raja dari Kuria Lubuksikaping ikut juga membantu Belanda. Pada bulan September 1833 M, ketika pasukan Belanda dari Rao melakukan serangan terhadap kaum Paderi di Bonjol di bawah pimpinan Mayor Eilers, pasukan Raja Gadombang dan Sutan Malayu ikut membantu. Dalam satu pertempuran di Lundar dekat Lubuk Sikaping ketika pasukan Raja Gadombang dan pasukan Sutan Malayu dalam perjalanan ke Bonjol, Raja Gadombang mengalami luka dan Sutan Malayu tewas dalam pertempuran tersebut (Radjab, 1964:261). Akhirnya, serangan pasukan Belanda ke Bonjol yang dibantu oleh pasukan Raja Gadombang dan Sutan Malayu terpaksa mundur kembali ke Rao karena tak sanggup menghadapi kaum Paderi.
Pada bulan Oktober 1833 M, pasukan Belanda yang berada di Benteng Amorengen dikabarkan akan diserang oleh kaum Paderi dan rakyat Rao, termasuk di antaranya yang dipimpin Tuanku Tambusai yang berada di sekitar tempat tersebut. Pada tanggal 20 Oktober 1833 M, rakyat dari Desa Padang Matinggi dekat Rao datang beramai-ramai menuju Benteng Amorengen dan mereka menembaki benteng tersebut. Kemudian datang pula rakyat dari Desa Tarung-Tarung untuk membantu penyerangan ke Benteng Amorengen. Tangsi-tangsi pasukan Mandailing yang berada di sekitar Amorengen terus ditembaki oleh penduduk Rao. Keesokan harinya Raja Gadombang dan Datuk Gagah Tengah Hari datang bersama 800 orang pasukan Mandailing. Mereka memasuki tangsi-tangsi yang berada di sekitar Benteng Amorengen. Dalam keadaan yang demikian itu, rakyat Rao terus berusaha untuk mengepung Benteng Amorengen dan membuat kubu-kubu pertahanan di sekitar benteng tersebut. Melihat keadaan yang demikian itu, pasukan Belanda sebahagian keluar dari benteng dengan dibantu oleh pasukan Raja Gadombang dan Datuk Gagah Tengah Hari menyerang pasukan Paderi yang berada di luar Benteng Amorengen. Pada waktu itu, pasukan Paderi sedang melakukan sembahyang zhuhur. Dan pada saat itulah pasukan Belanda menyerang mereka dari belakang sehingga banyak pasukan Paderi yang tewas.
Sepanjang bulan Oktober sampai bulan November 1833 M, pasukan Paderi terus memperkuatkan kepungan mereka terhadap pasukan Belanda yang berada di Benteng Amorengen. Oleh karena itu pasukan Belanda mulai kekurangan bahan makanan. Pada tanggal 18 November, serdadu Belanda keluar dari benteng untuk menyerang pasukan Paderi yang menghalangi jalan yang dapat menghubungkan pasukan Belanda di Benteng Amorengen Rao dengan Huta Godang di Mandailing. Pasukan Paderi mereka sergap ketika sedang tidur. Namun demikian lama kelamaan pengepungan pasukan terhadap Benteng Amorengen semakin diperkuatkan sehingga keadaan pasukan Belanda yang berada di dalam benteng tersebut semakin sulit.
Dalam keadaan yang demikian itu pemimpin pasukan Belanda mencoba berunding dengan kaum Paderi. Tetapi kaum Paderi menolaknya karena mereka dan rakyat Rao sudah mengambil keputusan untuk mengusir Belanda dari Rao dengan menghancurkan Benteng Amorengen. Kaum Paderi hanya mau berunding kalau pasukan Belanda bersedia meninggalkan Rao dan pergi ke pinggir pantai. Pasukan Belanda mencari jalan untuk meninggalkan Benteng Amorengen, karena tahu tidak akan sanggup lagi menghadapi serangan kaum Paderi yang semakin banyak jumlahnya mengepung terus Benteng Amorengen. Berulang kali pasukan Belanda keluar benteng untuk menyerang pertahanan pasukan Paderi yang menghalangi jalan ke Mandailing. Dan sejak tanggal 24 November 1843, terjadi serang menyerang antara pasukan Belanda dan kaum Paderi yang silih berganti.
Karena tidak sanggup lagi menghadapi kekuatan kaum Paderi akhirnya pimpinan pasukan Belanda memutuskan untuk meninggalkan perbentengan mereka di Rao dan memasuki daerah Mandailing untuk mencari tempat yang aman. Untuk itu pimpinan pasukan Belanda Mayor Eilers mengutus seorang tawanan menemui pimpinan pasukan Paderi untuk berunding agar pasukan Belanda diperbolehkan meninggalkan Rao. Akhirnya pimpinan pasukan Paderi memperkenankan permintaan pihak Belanda tersebut. Pasukan Belanda dan pasukan Raja Gadombang meninggalkan Rao menuju Mandailing pada tanggal 28 November 1883 M. setelah pasukan Belanda meninggalkan Benteng Amorengen kaum Paderi menghancurkan benteng tersebut. Pada hari itu juga pasukan Belanda tiba di Limau Manis sebuah desa di kawasan Muarasipongi.

 Pasukan Belanda Memasuki Mandailing

Pada tanggal 29 November 1833 M, pasukan Belanda yang melarikan diri dari Rao meninggalkan Limau Manis menuju Desa Tamiang. Pasukan Belanda tiba di Desa Tamiang pada tanggal 2 Desember 1833 M, dan mereka bertangsi di sebuah mesjid (Radjab, 1964: 297). Selanjutnya pasukan Belanda membangun perbentengan di Singengu untuk menangkis serangan pasukan Paderi kalau mereka datang menyerang dari Rao. Kemudian pasukan Belanda membuat pula benteng pertahanan di Kotanopan yang tidak jauh letaknya dari Singengu. Demikianlah Belanda pertama kali menjejakkan kakinya di Mandailing setelah melarikan diri dari pengepungan pasukan Paderi di Rao. Lima bulan kemudian tepatnya bulan Mei 1834, Tuanku Tambusai dan pasukannya dengan dibantu oleh penduduk Rao datang menyerang dan mengepung pasukan Belanda di perbentengan mereka di Singengu dan Kotanopan. Tapi karena pasukan Belanda mendapat bantuan 200 orang serdadu dari Padang akhirnya pasukan Paderi itu meninggalkan Kotanopan.
Pada tahun 1835 M, seorang kontelir Belanda yang pertama mulai ditempatkan di Mandailing, yaitu Kontelir Bonnet. Pada tanggal 19 April 1835 M, Kontrolir Bonnet mendapat perintah rahasia dari residen Belanda di Padang untuk mengirimkan bantuan kepada pasukan Letnan Beethoven yang ditugaskan untuk menyerang Rao. Kontelir Bonnet menyiapkan 1100 orang Mandailing yang dipersenjatai dan diberangkatkan menuju Rao pada tanggal 26 April 1835 M. Beberapa waktu kemudian pasukan Belanda mulai berada kembali di Rao, dan berulang-ulang kali terjadi pertempuran antara mereka dengan kaum Paderi. Raja Gadombang dengan pasukannya masih terus bekerja sama dengan pasukan Belanda untuk memerangi pasukan Paderi.
Pada bulan Oktober 1835 M, pada waktu Raja Gadombang sedang dalam perjalanan dari Lundar ke Sundatar bersama anak buahnya, mereka dihadang oleh pasukan Paderi. Seorang pasukan Paderi berhasil menembak perut Raja Gadombang dan beliau meninggal dunia keesokan harinya. Empat tahun kemudian (1839) setelah Raja Gadombang meninggal dunia dan dimakamkan di Huta Godang, adik beliau yang bernama Sutan Mangkutur memimpin perlawanan terhadap Belanda yang mulai menguasai Mandailing. Kurang lebih satu tahun setelah Sutan Mangkutur dan pasukannya memerangi Belanda di Mandailing. Dengan tipu muslihat yang dibantu orang yang menghianatinya, maka Sutan Mangkutur berhasil ditangkap oleh Belanda di Huta Godang.
Beberapa orang raja di Mandailing Julu yang bersimpati kepada Sutan Mangkutur dipaksa Belanda untuk membayar denda berupa emas, setelah Sutan Mangkutur berhasil mereka tawan. Kemudian Sutan Mangkutur bersama tiga orang kahanggi (saudara lelaki)-nya dibuang oleh Belanda ke Pulau Jawa. Sampai sekarang tidak diketahui dimana letak makam Sutan Mangkutur dengan dua orang saudaranya tersebut. Satu orang di antaranya Raja Mangatas, sempat kembali ke Huta Godang dari Jawa Barat, tetapi beliau tidak mengetahui dimana makam Sutan Mangkutur dan dua orang saudaranya yang lain.

 Akhir Penjajahan Belanda

Meskipun orang Mandailing yang pernah bekerja sama dengan Belanda pada masa Perang Paderi, tetapi ada pula rakyat Mandailing yang bangkit melawan Belanda mendahului penduduk lain di Sumatera Utara. Yaitu, dalam perang Mandailing yang dipimpin oleh Sutan Mangkutur dan rekan-rekannya pada tahun 1839.
Pada masa Pergerakan Nasional, para pemuda Mandailing tercatat pula sebagai pelopor di Sumatera Utara. Rasa kebangkitan orang Mandailing yang tidak menyukai penjajahan sejak abad ke-18 M, dapat ditemukan di dalam puisi-puisi Willem Iskandar. Meskipun ia mendapat pendidikan di Negeri Belanda tetapi ia mengutamakan rasa kebangsaaan dan cinta tanah air yang didukung dengan cita-cita kemajuan untuk bangsanya melalui pendidikan. Hal ini sangat nyata dia ekspresikan melalui isi puisi-puisinya. Dan ternyata puisi-puisinya itu memberi semangat dan ilham bagi para pemuda pergerakan di Mandailing untuk ikut bangkit melawan penjajahan Belanda pada tahun 1930-an. Mereka bangkit mendahului pemuda-pemuda pergerakan di berbagai daerah lain di Sumatera Utara. Akibatnya ada beberapa orang di antara pemuda Mandailing itu yang dibuang ke Digul karena ikut dalam pergerakan melawan Belanda.
Perlawanan yang dilakukan oleh pemuda Mandailing di tahun 1930-an itu merupakan bagian dari perjuangan rakyat Mandailing untuk melepaskan negerinya dan tanah airnya dari penjajahan Belanda yang berakhir dengan datangnya masa pendudukan Jepang pada tahun 1942. Dengan demikian, sejarah membuktikan bahwa Mandailing tidak termasuk di antara negeri-negeri di Nusantara yang dijajah oleh Belanda selama 350 tahun. Mandailing hanya dijajah oleh Belanda kurang lebih satu abad saja (1835-1942). Masa penjajahan Jepang meskipun hanya berlangsung kurang lebih 3 (tiga) tahun saja, menimbulkan banyak pengalaman pahit bagi rakyat Mandailing.
Selama masa perang kemerdekaan setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 M, Mandailing tidak setapak pun pernah lagi diinjak oleh Belanda seperti daerah-daerah lain di Nusantara. Dalam perang kemerdekaan itu, ada di antara putera Mandailing yang tampil sebagai tokoh sangat penting dalam memimpin prajurit-prajurit Indonesia berperang melawan Belanda, akhirnya putera Mandailing tersebut tercatat sebagai salah satu dari 3 (tiga) Jenderal Besar yang dimiliki bangsa Indonesia.
Meskipun terpaksa dicatat sebagai pengalaman pahit, sebahagian rakyat Mandailing di Sumatera bersama-sama sebagian rakyat Sumatera lainnya, pernah pula terlibat dalam pemberontakan melawan perbuatan pemerintah pusat yang dirasakan tidak adil terhadap daerah. Hal ini kenyataan sejarah yang dapat diingkari dan tidak pula harus membuat rakyat Mandailing merasa malu.